AKHLAK TERHADAP ALAM
Setiap kali hendak berperang, Rasulullah SAW
senantiasa memberikan wasiat kepada pasukannya terkait aturan-aturan etika yang
harus ditaati selama di medan tempur.
Salah satu wasiat beliau -yang kemudian diikuti oleh para Khulafaur Rasyidin-
adalah larangan untuk menebang pepohonan -kecuali untuk strategi perang (QS
Al-Hasyr, 59: 5)
$tB OçF÷èsÜs% `ÏiB >puZÏj9 ÷rr& $ydqßJçGò2ts? ºpyJͬ!$s% #n?tã $ygÏ9qß¹é& ÈbøÎ*Î6sù «!$# yÌ÷ãÏ9ur tûüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇÎÈ
5. Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma
(milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas
pokoknya[1464], Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan Karena dia
hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.
[1464] Maksudnya: pohon kurma milik musuh, menurut
kepentingan dan siasat perang dapat ditebang atau dibiarkan tumbuh.
Hal ini memberikan gambaran yang jelas kepada kita
bahwa Islam sangat menjunjung tinggi akhlak terhadap alam. Haram hukumnya,
tercela nilainya, bahkan melanggar Al-Quran dan sunnah Nabi saw, ketika seorang
Muslim membuat rusak lingkungan sekitarnya, baik biotik maupun abiotik. Allah
Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah)
memperbaikinya.” (QS Al-A’râf, 7: 56)
wur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=Ìs% ÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
56. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Akhlak terhadap alam, sejatinya adalah bagian besar
dari akhlak yang wajib dimiliki seorang Muslim, selain akhlak kepada Allah Swt,
kepada Nabi SAW, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia. Semua itu
adalah satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan.
Dengan demikian, ketika seseorang mengabaikan akhlak
terhadap alam, semisal merusak, mencemari, menyakiti, atau setidaknya tidak
peduli akan kelestariannya, pastilah keimanan orang tersebut tidak sempurna.
Tidak dikatakan lurus iman seseorang apabila tindakannya merugikan dan membawa
mudharat bagi makhluk Allah lainnya.
Dalam beberapa hadits, kita menemukan ada
orang-orang yang sangat bagus ibadah ritualnya akan tetapi dicap buruk oleh
Nabi SAW, hanya karena dia tidak baik kepada binatang —sebagai salah satu
bagian penting dari alam. Sebuah hadits dari Ibnu Umar menyebutkan, “Seorang
wanita masuk neraka karena mengikat seekor kucing. Dia tidak memberinya makan
dan tidak pula melepaskannya untuk memperoleh makan di bumi.” (HR Bukhari
Muslim).
Namun sebaliknya, ada orang yang ibadahnya
biasa-biasa saja, sering bermaksiat malah, akan tetapi dinilai baik oleh Nabi
SAW karena dia penyayang terhadap binatang dan gemar memelihara lingkungan
sekitarnya. Nabi SAW pernah bercerita tentang seorang lelaki yang dengan susah
payah mengambil air ke sumur untuk menolong anjing yang kehausan.
Karena perbuatannya ini, Allah Swt. memuliakan dia
dan mengampuni dosa-dosanya. “Sesungguhnya, Allah Swt. mensyukuri apa yang
dilakukannya dan mengampuninya,” sabda Nabi SAW. Para sahabat bertanya, “Apakah
dengan memperlakukan binatang secara baik kita memperoleh ganjaran?” Beliau pun
menjawab, “Setiap perlakukan baik terhadap yang memiliki jiwa ada ganjarannya.”
(HR Bukhari Muslim)
Anjuran agar setiap Muslim memperlakukan alam dengan
baik sejatinya berawal dari adanya doktrin “persaudaraan semakluk”. Di dalam
Al-Quran, Allah Swt. menyebut semua hewan melata di muka bumi dan yang terbang
di udara, sebagai “umat-umat” layaknya manusia. (QS Al-An’âm, 6: 38).
$tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wur 9ȵ¯»sÛ çÏÜt Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u crç|³øtä ÇÌÑÈ
38. Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472],
Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
[472] sebahagian
Mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa
nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan
ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu
Telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan
pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan
makhluk pada umumnya.
Itu artinya, alam sekitar pun dengan segala
komponennya, termasuk ke dalam pihak-pihak yang layak mendapat kasih sayang dan
penghormatan yang proporsional seperti halnya manusia. Bahkan, sebagai khalifah
Allah di muka bumi, manusia dituntun untuk lebih proaktif dan kreatif dalam
menebarkan kebaikan dan keharmonisan dibandingkan makhluk lainnya.
Kegagaan manusia dalam menjalankan peran dan
fungsinya tersebut, bukan hanya tercela, tetapi juga membawa konsekuensi buruk
bagi yang bersangkutan di dunia dan di akhirat; di dunia berupa bencana alam
dan di akhirat berupa pertanggungjawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Nabi SAW pernah menyatakan bahwa segelas air dan
sebutir kurma yang dimakan termasuk amanah yang akan dimintai
pertanggungjawababnya oleh Al-Khaliq. “Ini (seteguk air dan sepotong kurma)
adalah termasuk nikmat yang akan dimintakan pertanggungjawaban kalian.” (HR
Ahmad dan An-Nasa’i)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar