RIBAH
DAN MASALAHNYA
Riba
secara literal berarti ‘ziyadah’ (tambahan) dan an-naamu (berkembang
atau berbunga). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam, secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam.
DR.
M. Umer Chapra menulis :” dalam terminologi fiqih, riba berarti suatu tambahan
dalam salah satu dari dua barang homogen yang dipertukarkan tanpa adanya suatu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.” Wahid Abdus
Salam Al-Baly mempertegas defenisi tersebut :”Riba merupakan tambahan yang
disyaratkan terhadap uang pokok tanpa ada transaksi pengganti yang disyaratkan.”
Batasan
riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang
rumit. Karena, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi
mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka
sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman :
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't
(#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx.
ãPqà)t
Ï%©!$#
çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$#
4
y7Ï9ºs
öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s%
$yJ¯RÎ)
ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
¨@ymr&ur
ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
`yJsù
¼çnuä!%y`
×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù
¼ã&s#sù
$tB
y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur
n<Î)
«!$# (
ïÆtBur y$tã
y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r&
Í$¨Z9$# (
öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
275. Orang-orang yang
makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl.
riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak
tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum
turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Huruf
“al-ma’rifah” dalam kata “ar-riba” baik sebagai keterangan “lil
‘ahd” ‘lazim dikenal’ atau “lil jinsi” ‘jenis’, atau “lil
istighroq” ‘umum’, maksudnya sudah jelas dan terang, yaitu mengharamkan
seluruh jenis riba. Seandainya pengertian riba masih kabur, mestilah
diterangkan Allah kepada mereka. Ayat ini tidak mendefenisikan lagi kata riba
mengingat sudah lazim dikenal secara umum. Riba sebagai suatu bentuk transaksi
telah dikenal oleh bangsa Arab sejak masa jahiliyah, dan juga dikenal oleh non
Arab. Bangsa Yahudi telah mempraktikkan riba jauh sebelum itu, sampai-sampai
perbuatan tersebut diinventarisasi oleh Al-Qur’an dalam kumpulan catatan
kriminal mereka :
“Mereka
(Yahudi) mengambil riba, padahal telah dilarang dari perbuatan itu.” (Q.S
An-Nisaa’ : 161)
ãNÏdÉ÷{r&ur
(#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX
çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur
tAºuqøBr&
Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/
4
$tRôtGôãr&ur
tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
161.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah
dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.
A.
HUKUM RIBA
Riba diharamkan oleh seluruh
agama samawi, dianggap membahayakan oleh Islam, Yahudi dan Nashrani.
Larangan
riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda.
Yang pertama, Q.S Ar-Ruum ayat 39 diturunkan di Mekkah.
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).
Selanjutnya,
Q.S Ali Imran ayat 130-132 diturunkan kira-kira tahun ke-2 atau ke-3 Hijriyah.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ (#qà)¨?$#ur u$¨Z9$# ûÓÉL©9$# ôN£Ïãé& tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 ÇÊÌÊÈ (#qãèÏÛr&ur ©!$# tAqߧ9$#ur öNà6¯=yès9 cqßJymöè? ÇÊÌËÈ
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.
131. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang
disediakan untuk orang-orang yang kafir.
132. Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu
diberi rahmat.
[228] yang dimaksud riba di sini ialah riba
nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram,
walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang
dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
B.
KLASIFIKASI
Terdapat
perbedaan pendapat Ulama dalam mengklasifikasikan riba. Ada yang menyebutkan
riba terbagi 2, terbagi 3 dan terbagi 4. disini penulis mengambil pendapat
Ulama yang membagi riba kepada dua macam, yaitu riba Fadhl dan riba Nasi’ah. Karena penulis
menilai ini lebih mudah dicerna dan dimengerti.
Diantara
para Ulama yang membagi riba kepada fadhl dan Nasi’ah adalah : Sayyid Sabiq, Fakhruddin Ar-Razi,
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Abdullah bin Ahmad Al-Muqdasi (Faqih Hambali), Hasan
Ibnul Muttahar (Faqih Ja’fari), DR. Yusuf Al-Qardhowi.
Kata
riba telah disebutkan secara umum dalam Al-Quran atau hadits. Maka, konotasinya
tidak lain dari riba yang hakiki, yaitu apa yang dikenal pada era jahiliyah,
dan yang populer dengan istilah “riba nasi’ah” ‘riba utang’. Namun, ada
lagi jenis riba lain yang dalam hadits disebut “riba fadhl” ‘riba
jual-beli’.
Pembahasan
penulis kali ini berkisar tentang riba yang asli atau riba jahiliah. Yaitu,
riba yang terkenal pada umat-umat dahulu, dan masih berlansung efektif sampai
saat ini. Riba inilah yang merupakan tulang punggung bagi sistem kapitalis dan
kolonialis Barat.
Istilah
nasi’ah berasal dari akar kata nasaa’ yang berarti menunda,
menangguhkan atau menunggu, dan mengacu pada waktu yang diberikan bagi
pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan “tambahan” atau
“premi”. Karena itu riba nasi’ah mengacu kepada bunga pada utang.
Setidaknya
ada dua bentuk riba pinjaman yang dipraktekkan oleh bangsa Arab jahiliah. Pertama,
riba yang baru dikenakan pada saat peminjam tidak mampu melunasi utangnya dan
meminta perpanjangan waktu. Pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya
memberi dua pilihan : melunasi seluruh pokok pinjaman atau perpanjangan waktu
dengan “penambahan” pembayaran. “Penambahan” ini kita kenal dengan baik.
Penambahan ini bisa berupa kuantitas, seperti menangguhkan pengambalian seekor
unta sekarang dengan dua ekor unta dimasa mendatang, atau dalam umur, seperti
menangguhkan pengembalian seekor unta yang berumur satu tahun dengan seekor
unta yang berumur dua atau tiga tahun di masa mendatang.
Jadi,
riba baru dikenakan bila ada perpanjangan waktu. Ini sangat berbeda bila
dibandingkan dengan sistem bunga perbankan modern. Bahkan, tanpa meminta
perpanjangan waktupun, sipeminjam harus membayar beban bunga. Masihkah kita
akan berdalih bahwa bunga bank tidak memberatkan seperti riba jahiliah? Bahkan,
praktik pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktek riba an-nasiah
diatas.
Bunga
perbankan hari ini ternyata juga telah ada praktiknya pada zaman jahiliah.
Yaitu bentuk yang kedua, yang mana bangsa Arab sudah terbiasa dengan situasi
di mana seorang pemberi pinjaman uang untuk suatu periode tertentu dan
mengambil sejumlah riba (bunga) tertentu setiap bulan. Inilah riba yang berlaku
sekarang dan dikutip oleh bank dan lembaga-lembaga keuangan lain di dunia.
Allah telah mengharamkannya bagi kaum muslimin.
Intinya,
larangan riba nasi’ah mengandung implikasi bahwa penetapan suatu
keuntungan positif di depan pada suatu pinjaman sebagai imbalan karena
menunggu, manurut syari’ah tidak diperbolehkan. Tidak ada perbedaan apakah
persentase keuntungan dari pokok itu bersifat tetap atau berubah, atau suatu
jumlah tertentu yang dibayar didepan atau pada saat jatuh tempo, atau suatu
pemberian (hadiah) atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu
persyaratan pinjaman.
Permasalahan
bunga (interest) sebenarnya telah dikaji oleh para Ulama dan Pemikir Islam.
Mereka telah sepakat menyatakan bahwa bunga (interest) dari semua jenis
pinjaman adalah riba yang diharamkan, melalui berbagai keputusan diskusi,
seminar dan konfrensi Ilmia Islam Internasional diantaranya :
a. Keputusan
Muktamar Islam II Lembaga Riset Islam diselenggarakan di Kairo pada Muharram
1385 H/ Mei 1965 M, dihadiri oleh para wakil dan utusan dari 35 negara Islam.
b. Keputusan
Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI), dalam sidang Muktamar II
di Jeddah, pada tanggal 10-16 Rabi’uts Tsani 1406H /22-28 Desember 1985 M.
c. Keputusan
Lembaga Fikih Islam Rabithah Alam Islami dalam sidangnya yang ke-9, di aula
Rabithah Alam Islami di Mekkah, Rajab 1406 H.
Keputusan
Muktamar Bank Islam II 1403 H/ 1983 M di Kuwait
Penjelasan Tentang Riba Juga Dijelaskan Dalam Al-Qur’an ( Q.S Al Baqarah
: 278-279 ).
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#qà)®?$#
©!$# (#râsur
$tB
uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ)
OçFZä. tûüÏZÏB÷sB
ÇËÐÑÈ
bÎ*sù
öN©9 (#qè=yèøÿs?
(#qçRsù'sù
5>öysÎ/
z`ÏiB
«!$# ¾Ï&Î!qßuur (
bÎ)ur
óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ
öNà6Ï9ºuqøBr&
w cqßJÎ=ôàs?
wur cqßJn=ôàè?
ÇËÐÒÈ
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman.
279. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah
dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar