ETOS KERJA DALAM ISLAM
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja
berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh
jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan
memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya
kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang
dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada
waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’
Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik
kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang
terpenting untuk dihayati.
1. Ash-Shalah
(Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan
pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan
mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu
maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang)
dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
9e@à6Ï9ur
×M»y_uy
$£JÏiB (#qè=ÏJtã
4
$tBur
/u @@Ïÿ»tóÎ/
$£Jtã
cqè=yJ÷èt
ÇÊÌËÈ
132.
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa
yang dikerjakannya. dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada
orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh
sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi
individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah
pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak
diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan
pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang
yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada
pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih
jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan
prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu
pekerjaan.
2. Al-Itqan
(Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang
islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang
bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu,
diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini,
Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap
berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat
meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu,
melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa.
Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit
atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang
bermutu (al-Baqarah: 263).
*
×Aöqs% Ô$rã÷è¨B
îotÏÿøótBur ×öyz `ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Kt ]r&
3
ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOÎ=ym
ÇËÏÌÈ
263.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun.
[167] Perkataan yang baik maksudnya menolak dengan
cara yang baik, dan maksud pemberian ma'af ialah mema'afkan tingkah laku yang
kurang sopan dari si penerima.
3. Al-Ihsan
(Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan
dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang
dapat dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan
‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen
terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua, ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari
prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan
peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan,
pengalaman, waktu, dan sumber daya
lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari
hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan
berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau
kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta
ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34)
wur ÈqtGó¡n@
èpoY|¡ptø:$# wur èpy¥Íh¡¡9$# 4
ôìsù÷$# ÓÉL©9$$Î/
}Ïd ß`|¡ômr& #sÎ*sù
Ï%©!$#
y7uZ÷t/ ¼çmuZ÷t/ur
×ourºytã
¼çm¯Rr(x.
;Í<ur
ÒOÏJym
ÇÌÍÈ
34.
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala
seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya
sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah
(Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas
mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia
sendiri, dan agar nilai guna dari hasil
kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77,
al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah
dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah
”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada
dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum
‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia
(Ibrahim: 32-33). ª!$# Ï%©!$#
t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur tAtRr&ur
ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$#
[ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/
z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ
öNä3©9 (
t¤yur ãNä3s9 ù=àÿø9$# yÌôftGÏ9 Îû
Ìóst7ø9$# ¾ÍnÌøBr'Î/
(
t¤yur ãNä3s9 t»yg÷RF{$#
ÇÌËÈ t¤yur ãNä3s9 }§ôJ¤±9$#
tyJs)ø9$#ur Èû÷üt7ͬ!#y (
t¤yur ãNä3s9 @ø©9$# u$pk¨]9$#ur ÇÌÌÈ
Tinggal
32. Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan
bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air
hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan
bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan
dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu
matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah
menundukkan bagimu malam dan siang.
peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta
mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah
ridhai.
5. Tanafus
dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan
persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam
beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah
“fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan)
(al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum
wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya
adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat
kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita
dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat
kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan
(al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan
ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang
paling taqwa (al Hujurat: 13).
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami
adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah
persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan
tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan
kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan
dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu
dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia
mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6. Mencermati
Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak
ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang
menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan
dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan
amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung
mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa
ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan
menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah
(ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan
dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau
melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti
fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau
sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap
orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian
dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti
gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan.
Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya
kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi
kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada
Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma
ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh
karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena
pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus
dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar